Setiap sore, selalu saja aku melihat pemandangan yang sama yaitu pemandangan lusuh muka para pekerja. Seakan mereka semua telah membaca kitab dan ayat yang sama dimana dijelaskan dalam kitab itu bahwa setting-an wajah setelah lelah bekerja adalah “lusuh”. Lalu, sebagai umat yang baik merekapun menuruti perintah kitab itu hingga menjadikannya sebagai kewajiban, maka terciptalah pemandangan yang memuakkan setiap harinya.
Berbeda denganku, denganmu, ataupun dengan kita semua. Mungkin sosok ini tengah berbuat dosa karena tidak mematuhi perintah di kitab itu. Dari wajahnya sudah dapat dipastikan bahwa ia sudah tidak lagi muda, jika dibandingkan dengan rekan seprofesi yang jauh lebih muda darinya maka tidaklah pantas baginya untuk tidak menjalankan kewajiban di kitab itu.
Si muda selalu saja patuh terhadap perintah itu bahkan saking patuhnya, tidak hanya saat lelah bekerja saja dia memajang tampang lusuh namun setiap saat dan ditambah dengan prilakunya yang rusuh hingga kerap membuatku merasa takut berada didekatnya.
Pertama kali aku melihatnya, dia tersenyum padaku. Dengan sedikit heran aku berusaha mencari sesuatu yang salah dari diriku hingga berhasil mendapat senyuman darinya, ternyata tidak ada yang salah dariku. Dalam hatiku berkata “orang yang aneh..”, lalu akupun masuk ke dalam kendaraannya.
Layaknya orang normal yang senang memperhatikan sesuatu yang tak biasa, perhatiankupun tertuju pada sosok tua ini, tak sedetikpun aku lepaskan pandanganku darinya kecuali saat dia melihatku melalui kaca spion dan menyadari bahwa dia sedang diperhatikan. Sosok ini senang sekali tersenyum, tidak hanya kepadaku namun kepada setiap orang yang dia lihat walaupun orang itu tidak terlalu perduli terhadap senyumannya. Beberapa kali kudengar iya bertanya kepada orang yang turun dari kendarannya “dari mana pak??” wow, semakin kaget aku dibuatnya, logat sundanya sangatlah kentara, terdengar sangat sopan, tutur katanya pun halus dan yang tidak ketinggalan adalah senyumannya yang selalu menghias di setiap perkataannya.
Dengan memperhatikannya tersenyum tanpa sadar akupun sebenarnya telah tersenyum entah karena apa aku lupa kewajibanku pada kitab itu, aku lupa bahwa aku sangatlah lelah, aku lupa bahwa mood ku tidak terlalu bagus sore itu, aku hanya tersenyum mengikuti senyumannya.
Cara dia mengemudikan kendaraannya sangatlah berdeda dengan si muda ataupun dengan pengemudi lain seusianya, membuatku dan yang lainnya merasa nyaman berada di dalam kendaraannya. Sepuluh menit menjelang adzan magrib, sosok tua ini sibuk memutar radio butut yang ada di mobilnya rupanya dia mencari gelombang yang berisi ceramah ramadhan, suara dari radio itu tidaklah terlalu jelas tapi tetap saja dia dengarkan mungkin dia juga sepertiku sedang berpuasa hingga perlu mengetahui kapan waktu berbuka.
Jalanan macet, tidak ada yang menyukai kemacetan, sejauh mata memandang aku hanya melihat kegelisahan orang lain menunggu macet. Namun, kegelisahan itu tidak berlaku untuknya, dia tetap santai dan tersenyum. Lagi..akupun ikut tersenyum dengan melihat senyumannya. Dia melihat pedagang asongan di trotoar lalu terjadilah transaksi diantara mereka si sosok tua menerima 2 buah air mineral gelas dan si pedagang menerima uang seribu rupiah, entah komunikasi apa yang terjadi di antara mereka berdua, yang jelas aku hanya melihat sosok tua ini tersenyum kepada pedangan asongan ditambah dengan sedikit anggukan kepala tanpa berbicara sepatah katapun, lalu si pedagang menghampiri si sosok tua dan terjadilah transakti itu. Ho..ho..ho..pertunjukan maha dasyat, sebegitu hebatkan senyumannya??Biasanya, aku melihat rekan sekerjanya membunyikan klakson ataupun berteriak kepada pedagang asongan jika ingin membeli sesuatu, tidak perduli walaupun pedagang itu sudah menghampirinya mungkin fungsi klakson atau teriakannya untuk mempercepat gerak si pedagang sungguh cerminan ketidaksabaran.
Tak lama dari transaksi itu, masuklah seorang pria dan langsung duduk di sebelah sosok tua ini, mungkin pria ini adalah temannya karena obrolah mereka renyah sekali walaupun aku tidak tahu apa yang mereka obrolkan karena menggunakan bahasa sunda. Selang beberapa menit adzan magribpun berkumandang, sosok tua ini membagi satu air mineral gelasnya kepada temannya. Sepertinya sudah direncanakan, bahwa dia akan bertemu temannya, itu sebabnya ia membelinya air itu dua gelas. Padalah rencana itu tidak pernah ada, hanya dia yang tahu kenapa dia membeli dua gelas. Diapun melihat kebelakang dan berkata “sudah adzan, bagi yang berpuasa silahkan berbuka” tak lupa dengan senyumannya dan akupun berbuka.
Menuju pemberhentian terakhir akupun bersiap mengeluarkan uang, kali ini aku tidak membayar dengan uang pas. Tanpa bermaksud untuk mengetes sosok tua ini, akupun memberikan uangku kepadanya lalu dia bertanya “dari mana neng??” dengan senyuman tentunya dan aku menjawab “olimo” dengan bergegas dia sibuk mencari kembalian, uang kembalian sudah ada ditangannya namun tidak segera dia berikan sepertinya masih ada yang kurang. Diapun terus mencari sesuatu itu, di kantongnya, ditempat iya biasa menaruh uang, dan tidak berapa lama akhirnya ia menemukannya dan segera mengembalikan uangku. Yupz, ternyata yang ia cari adalah uang logam lima ratus rupiah. Jika ia tidak menemukannya, mungkin dia akan rela menukarkan kepada pedagang yang ada di sana yakinku, jika rekannya yang lain uangku pastilah tidak dikembalikan kalaupun dikembalikan jumlahnya pasti berkurang.
Sepertinya aku terhipnotis oleh senyumannya, perjalanpun aku lanjutkan dengan senyuman sambil berfikir betapa tidak bersyukurnya aku jika dibandingkan dengan sosok tua itu. Pastilah pekerjaannya jauh lebih berat dariku, pastilah kehidupannya jauh lebih berat dariku, dan pastilah kelelahannya melebihi kelelahanku tapi dia tetap bisa tersenyum. Dia ikhlas menjalani semuanya, seikhlas senyumannya. Sungguh pelajaran yang sangat berharga untukku.
Dengan hanya mengingat senyumannya akupun tersenyum. Aku berharap bisa bertemu lagi denganmu.
Dengan Senyuman,
Winda Widiastuti
17/09/08
P.s: sesampainya dirumah aku memusnahkan kitab sialan itu
P.s.s : kitab itu tidak benar² ada
P.s.s.s : hehe